Kartika Sari Dago Bandung

Hueeebat!!! Itu kesan pertama saya masuk ke outlet Kartika Sari yang ada di daerah Dago Bandung. Gimana tidak, menurut saya, mereka hanya berjualan makanan oleh-oleh khas Bandung – yang dikenal orang dengan pisang molen – bisa membangun sebuta outlet yang megah di pusat daerah “wisata” Bandung dengan parkiran basement (mungkin muat sekitar 25-35 mobil) plus Secure Parking yang mengelola parkiran tersebut.


Saat itu hari minggu siang, 14.03 WIB parkiran penuh dan 1 jam pertama akan di charge IDR 2.000 saya hanya berfikir sebagai orang marketing. BRAND Kartika Sari memang sudah melekat dan pemiliknya mengerti itu dan saya rasa sangat menjaga brand tersebut. DIFFERENTIATION ada di kue mollen yang saya rasa tidak berubah sama sekali rasanya, dari mulai saya cicipi pada jaman kuliah dulu hingga saya sudah punya anak 3 sekarang ini.

Seingat saya dulu outlet mereka hanya ada di depan stasiun kereta Bandung dan harus masuk ke dalam gang lage, dimana hanya muat satu mobil saja. Sudah bisa dipastikan tidak muat bila ada mobil dari arah berlawanan, harus bergantian.
Dan sekarang, saya dengar mereka sudah juga mempunyai outlet di beberapa titik di Bandung.

Tampaknya para pembeli itu ada rasa harus membeli Kartika Sari sebagai salah satu oleh-oleh dari Bandung. Mereka laku kareana rasanya memang enak atau karena Bandungnya ya…?

Kalo anda pernah ingat tentang FO (Factory Outlet) yang dimulai dari Bandung dan berkembang pesat disana, Namun setelah di adopsi dan diterapkan didaerah laen tetap saja tidak sesukses bila membuat FO di kota Bandung. Mungkinkah bila kita membuka outlet Kartika Sari di luar Bandung akan mengalami hal yang sama?

Melihat outlet Kartika Sari di Dago itu membuat analisa marketing mix yang saya pelajari menjadi mudah. Menganalisa Price, Place, Product dan Promotion nya sangatlah gampang, karena tinggal melihat saja apa yang ada disana maka akan memenuhi semua criteria 4P itu.

Namun, pernahkah anda membayangkan bahwa saat outlet pertama dibuka adalah di dalam sebuah gang yang sempit….? Kalo mereka langsung buka di Dago apakah penjualannya akan seperti sekarang ini? Pernahkan sang pemilik membayangkan bakal sesukses ini dari marketing plan yang dibuatnya?

Pertanyaan-pertanyaan ini mengingatkan saya pada seminar yang diselenggarakan oleh Entrepreneur University pimpinan Purdie Chandra (pemilik franchise Primagama). Bila anda ingin sukses berbisnis mulai saja, langsung terjun tidak perlu banyak rencana. Membangun bisnis itu seperti kita pergi ke kamar mandi, langsung saja dan secara “otomatis” dilakukan. Bila lupa bawa handuk ya… keluar dulu untuk ambil handuknya. Gampang toch!

Hem… kedengarannya gampang sich. Gimana menurut anda?

1 comment:

  1. Ini postingan sudah lama banget, tapi minggu (19.07.2015) lalu saya mendengar cerita dari Adik yang di cimanggis bahwasanya dia hanya ke bandung dengan istrinya untuk mencicipi mie kocok yang ada di Kartika Sari yang di depan rel kereta api (bukan di Dago lhoo...red) dan nguantriiii panjang katanya - padahal kartika sarinya sendiri belum buka loh?

    ternyata ini cerita sukses pedagang kuliner lain yang ada di bandung nih. memang kalo sudah perkara lidah, maka akan dikejar kemanapun dia berada bagi para penggermar kuliner. top markotob dech -

    bisa jadi differentiation yang lain bagi tukang mie kocok bandung nich. bisa jadi besar dengan rekan penjual kuliner lainnya nich. pernah dengar es cendol elizabeth bandung?

    ReplyDelete